DEMOKRASI TANPA PENGERAHAN MASA
Seringkali kita
melihat pengerahan masa di Pilkada berakhir ricuh. Kitapun banyak
melihat demontrasi mahasiswa (kaum terpelajar) tidak jauh beda dengan
masa pendukung politik yang dibutakan oleh kekuasaan, mereka menjadi
anarkis, demontrasi mereka mengganggu ketertiban umum, sesekali merusak
fasilitas rakyat, dan kadang mengganggu kepentingan rakyat sekalipun
mereka bilang sedang membela rakyat. Beberapa ormas tidak ketinggalan
ikut melakukan pengerahan masa dan melakukan tindakan anarkis. Apabila
Pemerintah dan Perwakilan Rakyat cepat tanggap, apakah anarkisme mereka
bisa dicegah?
Demokrasi Pancasila itu bukan memaksakan kehendak dengan pengerahan masa yang anarkis, tetapi Kerakyatan yang dipimpin oleh Hikmah Kebijaksanaan dalam permusyawaratan perwakilan.
Artinya kehendak rakyat yang dimusyawarahkan oleh perwakilannya dengan menggunakan kebijaksanaan pengetahuan dan nilai Kemanusiaan Yang Adil dan Beradab, Persatuan Indonesia, dan Keadilan Sosial Bagi Seluruh Rakyat Indonesia yang dilandasi oleh Ketuhanan Yang Maha Esa (Takwa), sehingga melahirkan hikmah yang diharapkan menjadi solusi bagi kehendak itu. Dan hikmah itu boleh jadi mengakomodasi, menolak, memberi jalan yang lain, atau mungkin berupa jalan tengah.
Jika kehendak itu diejawantahkan dengan pengerahan masa anarkis yang memaksakan kehendak dengan mengatas namakan Demokrasi seperti yang kita lihat pada beberapa kasus Pilkada dan lain sebagainya, maka tindakan seperti itu sebenarnya tidak sesuai dengan nilai Demokrasi Pancasila. Bahkan kalau mau kaku dalam menafsirkan sila ke-4 Pancasila ini, maka bentuk pengerahan masa bukan merupakan bentuk Demokrasi yang dikehendaki oleh Pancasila. Tapi barangkali kita tidak akan sekaku itu, Kaum Demokrat Pncasialis sepakat tentang bolehnya pengerahan masa sepanjang tidak memaksakan kehendak, melenyapkan nilai-nilai Pancasila lainnya, dan ditindaklanjuti dengan permusyawaratan perwakilan dengan menggunakan kebijakan dan bukan otot.
Demontrasi yang anarkis, perwakilan rakyat yang bermusyawarah dengan menggunakan otot dan bukan kebijakan ilmu dan nilai sudah keluar dari Demokrasi ala Pancasila. Mereka harusnya disadarkan dan kalau mungkin dicegah. Mereka harusnya ingat bahwa berdemokrasi di Indonesia itu tidak boleh menggunakan bentuk amal Demokrasi yang tidak sesuai dengan Pancasila.
Sengketa itu selesaikan saja di Pengadilan. Keinginan itu sampaikan saja melalu perwakilannya. Dan Pemerintah ataupun Perwakilan Rakyat, seyogyanya memiliki kemampuan untuk tanggap terhadap aspirasi dan gejolak rakyat. Alangkah hebatnya Pemerintah dan Perwakilan Rakyat jika dapat sigap mengambil berbagai kebijakan yang membuat aspirasi rakyat tidak berbuntut pengerahan masa. Kalaupun tidak bisa, minimal dapat mencegah agar pengerahan masa itu tidak berubah menjadi anarkis.
Mari propagandakan untuk mewujudkan Demokrasi Pancasila yang tanpa pengerahan masa, tapi dengan kebijakan dalam permusyawaratan perwakilan. Kita pasti bisa !
Demokrasi Pancasila itu bukan memaksakan kehendak dengan pengerahan masa yang anarkis, tetapi Kerakyatan yang dipimpin oleh Hikmah Kebijaksanaan dalam permusyawaratan perwakilan.
Artinya kehendak rakyat yang dimusyawarahkan oleh perwakilannya dengan menggunakan kebijaksanaan pengetahuan dan nilai Kemanusiaan Yang Adil dan Beradab, Persatuan Indonesia, dan Keadilan Sosial Bagi Seluruh Rakyat Indonesia yang dilandasi oleh Ketuhanan Yang Maha Esa (Takwa), sehingga melahirkan hikmah yang diharapkan menjadi solusi bagi kehendak itu. Dan hikmah itu boleh jadi mengakomodasi, menolak, memberi jalan yang lain, atau mungkin berupa jalan tengah.
Jika kehendak itu diejawantahkan dengan pengerahan masa anarkis yang memaksakan kehendak dengan mengatas namakan Demokrasi seperti yang kita lihat pada beberapa kasus Pilkada dan lain sebagainya, maka tindakan seperti itu sebenarnya tidak sesuai dengan nilai Demokrasi Pancasila. Bahkan kalau mau kaku dalam menafsirkan sila ke-4 Pancasila ini, maka bentuk pengerahan masa bukan merupakan bentuk Demokrasi yang dikehendaki oleh Pancasila. Tapi barangkali kita tidak akan sekaku itu, Kaum Demokrat Pncasialis sepakat tentang bolehnya pengerahan masa sepanjang tidak memaksakan kehendak, melenyapkan nilai-nilai Pancasila lainnya, dan ditindaklanjuti dengan permusyawaratan perwakilan dengan menggunakan kebijakan dan bukan otot.
Demontrasi yang anarkis, perwakilan rakyat yang bermusyawarah dengan menggunakan otot dan bukan kebijakan ilmu dan nilai sudah keluar dari Demokrasi ala Pancasila. Mereka harusnya disadarkan dan kalau mungkin dicegah. Mereka harusnya ingat bahwa berdemokrasi di Indonesia itu tidak boleh menggunakan bentuk amal Demokrasi yang tidak sesuai dengan Pancasila.
Sengketa itu selesaikan saja di Pengadilan. Keinginan itu sampaikan saja melalu perwakilannya. Dan Pemerintah ataupun Perwakilan Rakyat, seyogyanya memiliki kemampuan untuk tanggap terhadap aspirasi dan gejolak rakyat. Alangkah hebatnya Pemerintah dan Perwakilan Rakyat jika dapat sigap mengambil berbagai kebijakan yang membuat aspirasi rakyat tidak berbuntut pengerahan masa. Kalaupun tidak bisa, minimal dapat mencegah agar pengerahan masa itu tidak berubah menjadi anarkis.
Mari propagandakan untuk mewujudkan Demokrasi Pancasila yang tanpa pengerahan masa, tapi dengan kebijakan dalam permusyawaratan perwakilan. Kita pasti bisa !
KEBHINEKAAN KITA ADALAH PANCASILAIS BUKAN MATERIALIS
Di surat kabar muncul petisi berjudul "Mari
Pertahankan Indonesia Kita". Dari judul dan seruannya memang sangat
Nasionalis, tetapi ternyata tidak Pancasilais. AKBB, ICRP, dan Aliansi
Bhineka Tunggal Ika telah menafsirkan Kebhinekaan yang diajarkan
Pancasila dengan Kebebasan Materialisme (Materialisme, meminjam istilah
KH. Ma'ruf Amin dalam artikelnya yang berjudul, “Mencegah Sekularisasi
Pancasila” di Republika (14 Juni 2006), silahkan baca artikel
selanjutnya: "Sekulerisasi Pancasila adalah Penghianatan"). Perhatikan
isi petisinya berikut ini:
Indonesia menjamin tiap warga bebas beragama. Inilah hak asasi manusia yang dijamin oleh konstitusi. Ini juga inti dari asas Bhineka Tunggal Ika, yang menjadi sendi ke-Indonesia-an kita. Tapi belakangan ini ada sekelompok orang yang hendak menghapuskan hak asasi itu dan mengancam ke-bhineka-an. Mereka juga menyebarkan kebencian dan ketakutan di masyarakat. Bahkan mereka menggunakan kekerasan, seperti yang terjadi terhadap penganut Ahmadiyah yang sejak 1925 hidup di Indonesia dan berdampingan damai dengan umat lain.
Pada akhirnya mereka akan memaksakan rencana mereka untuk mengubah dasar negara Indonesia, Pancasila, mengabaikan konstitusi, dan menhancurkan sendi kebersamaan kita. Kami menyerukan, agar pemerintah, para wakil rakyat, dan para pemegang otoritas hukum, untuk tidak takut kepada tekanan yang membahayakan ke-Indonesia-an itu.
Marilah kita jaga republik kita.
Marilah kita pertahankan hak-hak asasi itu.
Marilah kita kembalikan persatuan kita.
Jelas isinya adalah mereka mengajak kita semua untuk membela Ahmadiyah yang telah melakukan tindak penistaan terhadap agama Islam atas dasar Kebhinekaan yang ditafsiri sebagai Kebebasan Materialis. Sekalipun Pancasila bersemboyankan Bhineka Tunggal Ika, tapi dalam konsep Pancasila tindakan penistaan terhadap agama adalah tindak kriminal. Karenanya UUD 45 memastikan bahwa negara akan menjamin agar rakyatnya dapat beribadat menurut agama dan kepercayaannya itu (bukan beribadat yang menyimpang dari ajaran agama) dan UU No.1/PNPS/1965 menetapkan tindak penistaan terhadap agama sebagai tindak kriminal.
Pancasilais sejati tidak akan membela pelaku kejahatan yang menistakan agama sebagaimana mereka membela Ahmadiyah, tidak akan membiarkan umat Islam yang meminta keadilan atas penistaan agamanya, memahami kemarahan umat Islam, dan tidak akan mersikap diam terhadap penistaan yang dilakukan oleh Ahmadiyah terhadap agama Islam. Pancasilais sejati memahami arti yang sesungguhnya dari Keadilan Sosial Bagi Seluruh Rakyat indonesia, bahwa umat Islam berhak mendapatkan keadilan dan Ahmadiyah tidak berhak menistakan agama Islam.
Pasal 28 J ayat (1) UUD 1945 jelas dinyatakan bahwa setiap orang wajib menghormati Hak Azasi orang lain dalam tertib kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Kemudian dalam ayat (2) dinyatakan bahwa dalam menjalankan hak dan kebebasannya, setiap orang wajib tunduk kepada pembatasan yang ditetapkan dengan undang-undang dengan maksud semata-mata untuk menjamin pengakuan serta penghormatan atas hak kebebasan orang lain dan untuk memenuhi tuntutan yang adil sesuai dengan pertimbangan moral, nilai-nilai agama, keamanan, dan ketertiban umum dalam suatu masyarakat demokratis. Hal ini juga selaras dengan pasal 23 dan 73 dari UU No.39 Tahun 1999 tentang Hak Azasi Manusia.
Indonesia menjamin tiap warga bebas beragama. Inilah hak asasi manusia yang dijamin oleh konstitusi. Ini juga inti dari asas Bhineka Tunggal Ika, yang menjadi sendi ke-Indonesia-an kita. Tapi belakangan ini ada sekelompok orang yang hendak menghapuskan hak asasi itu dan mengancam ke-bhineka-an. Mereka juga menyebarkan kebencian dan ketakutan di masyarakat. Bahkan mereka menggunakan kekerasan, seperti yang terjadi terhadap penganut Ahmadiyah yang sejak 1925 hidup di Indonesia dan berdampingan damai dengan umat lain.
Pada akhirnya mereka akan memaksakan rencana mereka untuk mengubah dasar negara Indonesia, Pancasila, mengabaikan konstitusi, dan menhancurkan sendi kebersamaan kita. Kami menyerukan, agar pemerintah, para wakil rakyat, dan para pemegang otoritas hukum, untuk tidak takut kepada tekanan yang membahayakan ke-Indonesia-an itu.
Marilah kita jaga republik kita.
Marilah kita pertahankan hak-hak asasi itu.
Marilah kita kembalikan persatuan kita.
Jelas isinya adalah mereka mengajak kita semua untuk membela Ahmadiyah yang telah melakukan tindak penistaan terhadap agama Islam atas dasar Kebhinekaan yang ditafsiri sebagai Kebebasan Materialis. Sekalipun Pancasila bersemboyankan Bhineka Tunggal Ika, tapi dalam konsep Pancasila tindakan penistaan terhadap agama adalah tindak kriminal. Karenanya UUD 45 memastikan bahwa negara akan menjamin agar rakyatnya dapat beribadat menurut agama dan kepercayaannya itu (bukan beribadat yang menyimpang dari ajaran agama) dan UU No.1/PNPS/1965 menetapkan tindak penistaan terhadap agama sebagai tindak kriminal.
Pancasilais sejati tidak akan membela pelaku kejahatan yang menistakan agama sebagaimana mereka membela Ahmadiyah, tidak akan membiarkan umat Islam yang meminta keadilan atas penistaan agamanya, memahami kemarahan umat Islam, dan tidak akan mersikap diam terhadap penistaan yang dilakukan oleh Ahmadiyah terhadap agama Islam. Pancasilais sejati memahami arti yang sesungguhnya dari Keadilan Sosial Bagi Seluruh Rakyat indonesia, bahwa umat Islam berhak mendapatkan keadilan dan Ahmadiyah tidak berhak menistakan agama Islam.
Pasal 28 J ayat (1) UUD 1945 jelas dinyatakan bahwa setiap orang wajib menghormati Hak Azasi orang lain dalam tertib kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Kemudian dalam ayat (2) dinyatakan bahwa dalam menjalankan hak dan kebebasannya, setiap orang wajib tunduk kepada pembatasan yang ditetapkan dengan undang-undang dengan maksud semata-mata untuk menjamin pengakuan serta penghormatan atas hak kebebasan orang lain dan untuk memenuhi tuntutan yang adil sesuai dengan pertimbangan moral, nilai-nilai agama, keamanan, dan ketertiban umum dalam suatu masyarakat demokratis. Hal ini juga selaras dengan pasal 23 dan 73 dari UU No.39 Tahun 1999 tentang Hak Azasi Manusia.
Sedih rasanya melihat fakta bahwa ternyata di bumi Indonesia ini ada sekelompok anak bangsa yang ngaku Pancasilais tetapi tidak melindungi agama dari penistaan, padahal perlindungan tersebut adalah merupakan Keadilan Sosial bagi rakyat Indonesia. Mereka menggunakan Nasionalisme untuk membela tindak kriminal penistaan agama, padahal Nasionalis yang Pancasilais tidak akan melakukan hal seperti itu.
Pembelaan Mereka terhadap tindak penistaan terhadap agama dengan alasan Kebhinekaan Pancasila yang ditafsiri dengan kebebasan Materialisme merupakan tindak penistaan terhadap Pancasila.
Penjagaan agama dari penistaan adalah Pancasilais, pembiarannya adalah Materialis. Jelaslah maka sebenarnya kebhinekaan yang dimaksud oleh mereka adalah kebhinekaan materialis dan bukan kebhinekaan Pancasilais. Akhirnya kita harus waspada dengan segelintir orang yang mengaku-ngaku nasionalis padahal tidak Pancasilais, dan mulai mempropagandakan:
Mari Pertahankan PANCASILA kita dari Penistaan Kaum Materialis!!!
Kita
harus waspada, karena mereka menyeru agar kita menjaga persatuan,
padahal mereka yang telah menanamkan bibit perpecahan. Mereka seringkali
membela hal-hal yang bertentangan dengan pandangan mayoritas bangsa
Indonesia yang Berketuhanan dan Beragama, seperti menolak UU pornografi dan porno aksi
demi membela segelintir perusak moral. Pembelaan materialis yang
seperti itulah yang seringkali menyebabkan kekisruhan dan memecah belah
masyarakat.
Mereka meminta agar kita menjaga Republik sementara mereka menistakan Pancasila dengan Materialisme yang mereka anut. Mereka menyuruh kita untuk mempertahankan hak asasi tapi dilain sisi tidak mendukung apabila umat Islam mempertahankan hak asasinya dalam kasus penistaan agama oleh Ahmadiyah. Sungguh di dalam kebangsaan perilaku mereka mencerminkan identitas yang sangat jauh dari Keindonesiaan. Mereka sangat jauh dari Pancasila yang selama ini mereka fikir berfihak kepada faham Materialismenya. Pancasila bukan Materialisme, bung! Dan itu harga mati, sebagaimana keyakinan Sukarno dan Pendiri Negara ini.
Mereka meminta agar kita menjaga Republik sementara mereka menistakan Pancasila dengan Materialisme yang mereka anut. Mereka menyuruh kita untuk mempertahankan hak asasi tapi dilain sisi tidak mendukung apabila umat Islam mempertahankan hak asasinya dalam kasus penistaan agama oleh Ahmadiyah. Sungguh di dalam kebangsaan perilaku mereka mencerminkan identitas yang sangat jauh dari Keindonesiaan. Mereka sangat jauh dari Pancasila yang selama ini mereka fikir berfihak kepada faham Materialismenya. Pancasila bukan Materialisme, bung! Dan itu harga mati, sebagaimana keyakinan Sukarno dan Pendiri Negara ini.
HENTIKAN SEKULERISASI PANCASILA !!!
Indonesia
bukanlah Negara Sekuler Tapi Negara Pancasila Yang Berketuhanan Yang
Maha Esa, yang tidak menggunakan konsep Sekuler semata karena percaya
bahwa Pancasila adalah konsep tepat bagi bangsa Indonesia yang dikenal
sangat percaya dan taat Kepada Tuhan Yang Maha Esa.
Sekuler itu tradisi dan Warisan Luar Indonesia. Gus Dur pernah menyatakan, sebaiknya Indonesia menegaskan diri sebagai negara sekuler. Negara Pancasila yang sering dikatakan bukan negara agama dan bukan negara sekuler itu tidak jelas, ambigu, serta memberikan kesan ideologi ganda. Malahan, secara berkelakar bisa disebut bahwa negara Pancasila yang dikonsepkan seperti itu adalah "negara yang bukan-bukan". Sebab, sering dikatakan bahwa negara Pancasila itu bukan liberal-kapitalis dan bukan sosialis-komunis, bukan individualisme dan bukan kolektivisme, bukan negara agama dan bukan negara sekuler. Kalau semua bukan, tak ada arti lain kecuali negara "yang bukan-bukan".
Sebelum meletus apa yang dinamakan Peristiwa G.30-S, masalah perbedaan ideologi politik tidaklah begitu gencar dipermasalahkan.Bahkan NASAKOM-nya Bung Karno, Presiden pertama RI, yang awalnya dicetuskan pada tahun 1926, tidak diberi label ideologi sekuler dan menganut atheisme. Karena Bung Karno memiliki tiga kualifikasisekaligus, yaitu:1. Kehidupan kerohaniaannya (spritual way of lifenya) adalah seorang muslim taat, jadi agamis, Theis, bahkan menjadi anggota Muhammadiyah Bengkulu, yang Konsul PB-nya seorang muslim Tionghoa, Oei Cheng Hien;2. Seorang nasionalis, yang bercita-cita memerdekakan bangsa dan tanah air, dan anti penjajahan (kolonialisme dan imperialisme);3. Filsafat visi politik, ekonomi, menganut paham demokrasi dan sosialisme, yang memakai senjata sosial ekonomi paham marxisme, yaitu filsafat dialektika, ideologi mazhab sejarah materialisme, dan teori ekonomi politik evolusisme Darwin.
Negara Pancasila merupakan konsepsi prismatik (Fred W. Riggs, 1964) yang memadukan inti nilai yang baik dari berbagai nilai yang saling bertentangan. Konsepsi prismatik tersebut minimal dicirikan oleh empat hal.
Pertama, Pancasila memadukan unsur yang baik dari paham individualisme dan kolektivisme. Di sini diakui bahwa manusia sebagai pribadi mempunyai hak dan kebebasan asasi, namun sekaligus melekat padanya kewajiban asasi sebagai makhluk Tuhan dan makhluk sosial.
Kedua, Pancasila mengintegrasikan konsepsi negara hukum "Rechtsstaat" yang menekankan pada civil law dan kepastian hukum serta konsepsi negara hukum "the Rule of Law" yang menekankan pada common law dan rasa keadilan.
Ketiga, Pancasila menerima hukum sebagai alat pembaruan masyarakat (law as tool of social engineering) sekaligus hukum sebagai cermin rasa keadilan yang hidup di masyarakat (living law).
Keempat, Pancasila menganut paham religious nation state, tidak menganut atau dikendalikan satu agama tertentu (karena bukan negara agama), tapi juga tidak hampa agama (karena bukan negara sekuler). Di sini, negara harus melindungi dan membina semua pemeluk agama tanpa diskriminasi berdasar pertimbangan mayoritas dan minoritas.
Sekuler itu tradisi dan Warisan Luar Indonesia. Gus Dur pernah menyatakan, sebaiknya Indonesia menegaskan diri sebagai negara sekuler. Negara Pancasila yang sering dikatakan bukan negara agama dan bukan negara sekuler itu tidak jelas, ambigu, serta memberikan kesan ideologi ganda. Malahan, secara berkelakar bisa disebut bahwa negara Pancasila yang dikonsepkan seperti itu adalah "negara yang bukan-bukan". Sebab, sering dikatakan bahwa negara Pancasila itu bukan liberal-kapitalis dan bukan sosialis-komunis, bukan individualisme dan bukan kolektivisme, bukan negara agama dan bukan negara sekuler. Kalau semua bukan, tak ada arti lain kecuali negara "yang bukan-bukan".
Sebelum meletus apa yang dinamakan Peristiwa G.30-S, masalah perbedaan ideologi politik tidaklah begitu gencar dipermasalahkan.Bahkan NASAKOM-nya Bung Karno, Presiden pertama RI, yang awalnya dicetuskan pada tahun 1926, tidak diberi label ideologi sekuler dan menganut atheisme. Karena Bung Karno memiliki tiga kualifikasisekaligus, yaitu:1. Kehidupan kerohaniaannya (spritual way of lifenya) adalah seorang muslim taat, jadi agamis, Theis, bahkan menjadi anggota Muhammadiyah Bengkulu, yang Konsul PB-nya seorang muslim Tionghoa, Oei Cheng Hien;2. Seorang nasionalis, yang bercita-cita memerdekakan bangsa dan tanah air, dan anti penjajahan (kolonialisme dan imperialisme);3. Filsafat visi politik, ekonomi, menganut paham demokrasi dan sosialisme, yang memakai senjata sosial ekonomi paham marxisme, yaitu filsafat dialektika, ideologi mazhab sejarah materialisme, dan teori ekonomi politik evolusisme Darwin.
Negara Pancasila merupakan konsepsi prismatik (Fred W. Riggs, 1964) yang memadukan inti nilai yang baik dari berbagai nilai yang saling bertentangan. Konsepsi prismatik tersebut minimal dicirikan oleh empat hal.
Pertama, Pancasila memadukan unsur yang baik dari paham individualisme dan kolektivisme. Di sini diakui bahwa manusia sebagai pribadi mempunyai hak dan kebebasan asasi, namun sekaligus melekat padanya kewajiban asasi sebagai makhluk Tuhan dan makhluk sosial.
Kedua, Pancasila mengintegrasikan konsepsi negara hukum "Rechtsstaat" yang menekankan pada civil law dan kepastian hukum serta konsepsi negara hukum "the Rule of Law" yang menekankan pada common law dan rasa keadilan.
Ketiga, Pancasila menerima hukum sebagai alat pembaruan masyarakat (law as tool of social engineering) sekaligus hukum sebagai cermin rasa keadilan yang hidup di masyarakat (living law).
Keempat, Pancasila menganut paham religious nation state, tidak menganut atau dikendalikan satu agama tertentu (karena bukan negara agama), tapi juga tidak hampa agama (karena bukan negara sekuler). Di sini, negara harus melindungi dan membina semua pemeluk agama tanpa diskriminasi berdasar pertimbangan mayoritas dan minoritas.
Sekulerisasi Pancasila Adalah Penghianatan
KH Ma’ruf Amin, Ketua Majelis Ulama Indonesia, memberikan tanggapan terhadap Maklumat Keindonesian Aliansi Kebangsaan dengan menulis artikel berjudul, “Mencegah Sekularisasi Pancasila” di Republika (14 Juni 2006).
Dalam artikelnya, KH Ma’ruf Amin mengeritik Maklumat Keindonesiaan sebagai upaya sekularisasi Pancasila.
”Di satu sisi dinyatakan tak satu agama pun boleh mendominasi kehidupan yag dibangun berdasarkan Pancasila, sementara sosialisme, yang dibangun berdasarkan ideologi materialisme dan anti-agama, dan karenanya bertentangan dengan Pancasila, justru diagungkan. Begitu juga dengan kapitalisme yang dibangun berdasarkan sekularisme dan setengah anti-agama, serta nyata-nyata melahirkan ketidakadilan global,” tulis Ma’ruf Amin.
Ma’ruf menjelaskan, Pancasila memang bukan sebuah agama, karena ia merupakan kumpulan nilai-nilai (values) dan visi (vision) yang hendak dituju oleh bangsa ini sejak kemerdekaan Republik Indonesia. Meski begitu, bukan berarti Pancasila anti-agama, atau agama tidak mendapat ruang bagi Pancasila. Sejak disepakati, Pancasila menjamin setiap orang untuk menjalankan syariat agamanya sesuai kepercayaan masing-masing. Karena itu, visi “Ketuhanan Yang Maha Esa” dalam sila pertama menunjukkan bahwa nilai-nilai “Ketuhanan” tidak bisa begitu saja disingkirkan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.
Ironisnya, kata Ma’ruf Amin, mereka yang menginginkan tidak ada satu agamapun yang boleh mendominasi kehidupan yang dibangun berdasarkan Pancasila sebagai upaya untuk selalu membenturkan Islam dengan Pancasila. Tokoh Nahdlatul Ulama ini menyebut cara berpikir orang selalu membenturkan nilai-nilai agama dengan Pancasila sebagai orang yang picik dan tidak jujur dalam melihat fakta yang terjadi. “Demokrasi yang mereka agung-agungkan mengajarkan vox populi vox dei (suara rakyat suara tuhan). Jika rakyat yang mayoritas menginginkan kehidupan mereka diatur syariat, mengapa mereka harus menolak,” gugatnya.
UU ITE TIDAK MENGANCAM KEMERDEKAAN BERPENDAPAT DAN KEBEBASAN BEREKSPRESI DI INDONESIA
Mari kita lihat legal reasoning-nya. Kita tengok konstitusi kita, UUD 1945. Pasal 28 J UUD 1945 berbunyi Setiap orang berhak untuk berkomunikasi dan memperoleh informasi untuk mengembangkan pribadi dan lingkungan sosialnya, serta berhak untuk mencari, memperoleh, memiliki, menyimpan, mengolah, dan menyampaikan informasi dengan menggunakan segala jenis saluran yang tersedia. Ketentuan konstitusional ini sangat jelas mendukung kebebasan setiap orang untuk berkomunikasi lewat media apa pun, termasuk lewat media elektronik (internet). Kita sepakat. Saya juga sepakat dengan hal ini.Namun ketentuan konstitusi kita tidak berhenti di situ. Mari kita lihat Pasal 28 J Ayat (1) : Setiap orang wajib menghormati hak asasi manusia orang lain dalam tertib kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara. Lebih tegas, Pasal 28 J ayat (2) UUD 1945 : Dalam menjalankan hak dan kebebasannya, setiap orang wajib tunduk kepada pembatasan yang ditetapkan dengan undang-undang dengan maksud semata-mata untuk menjamin pengakuan serta penghormatan atas hak kebebasan orang lain dan untuk memenuhi tuntutan yang adil sesuai dengan pertimbangan moral, nilai-nilai agama, keamanan, dan ketertiban umum dalam suatu masyarakat demokratis.
Apa artinya? Ini menunjukkan bahwa konstitusi kita sudah secara komprehensif mengatur hak asasi manusia dan kewajiban asasi manusia. Sederhanya begini. Anda bebas berekspresi. Saya juga bebas berekspresi. Kebebasan Anda tentu ”dibatasi” dengan kebebasan Saya. Begitu juga sebaliknya, kebebasan Saya tentu ”dibatasi” dengan kebebasan Anda. Nah bagaimana cara ”membatasi” Anda dan Saya? Negara memiliki kewenangan dan tanggung jawab yang diberikan oleh konstitusi untuk mengatur itu ke dalam produk peraturan perundang-undangan. Nah, Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (LN 58, TLN, 4843) adalah salah satu wujud tanggung jawab Negara untuk mengatur kegiatan di bidang Teknologi Informasi.
Saya ingin menanggapi Pernyataan Sikap Bersama Aliansi Nasional Reformasi Hukum Telematika Indonesia (ANRHTI) yang menyatakan bahwa ”UU ITE Mengancam Kemerdekaan Berpendapat dan Kebebasan Berkespresi di Indonesia” seperti yang termuat dalam blog http://www.anggara.org.Mari kita baca satu persatu. ARTHI menulis : ”Dalam KonsideranMengingat UU ITE sama sekali tidak mencantumkan ketentuan apapun tentang Hak Asasi Manusia, oleh karena itu dalam pandangan Aliansi UU ini telah menunjukkan watak aslinya yang mengabaikan Hak Asasi Manusia”. Mengapa penyusun UU ITE tidak memasukan konsideran HAM ke dalam UU ini, adalah tidak lain karena penyusun UU ITE menyadari dari awal bahwa pengaturan Hak Asasi Manusia sudah diatur oleh UUD 1945, dan secara khusus sudah diatur oleh Undang-Undang No 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia. Artinya, tak ada keharusan bagi penyusun UU ITE untuk memasukkan konsideran HAM. Mari kita membaca seluruh peraturan perundang-undangan Republik Indonesia sebagai satu kesatuan yang utuh, jangan melihat secara spasial dan parsial. Atas argumen ini, saya berpendapat bahwa pernyataan ANRHTI bahwa ”UU ITE mengabaikan Hak Asasi Manusia” adalah tidak berdasar.
ANRHTI menulis : UU ITE ini juga tidak mempunyai kejelasan tujuan yang hendak dicapai sebagaimana yang disyaratkan dalam UU No 10 Tahun 2004 Tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan. UU ini telah jauh melenceng dari misi awalnya yang hendak melindungi perdagangan dan transaksi elektronik.Pasal 4 UU ITE, secara jelas memuat tujuan Pemanfaatan Teknologi Informasi dan Transaksi Elektronik yaitu:a. mencerdaskan kehidupan bangsa sebagai bagian dari masyarakat informasi dunia;b. mengembangkan perdagangan dan perekonomian nasional dalam rangka meningkatkan kesejahteraan masyarakat;c. meningkatkan efektivitas dan efisiensi pelayanan publik;d. membuka kesempatan seluas-luasnya kepada setiap Orang untuk memajukan pemikiran dan kemampuan di bidang penggunaan dan pemanfaatan Teknologi Informasi seoptimal mungkin dan bertanggung jawab;e. memberikan rasa aman, keadilan, dan kepastian hukum bagi pengguna dan penyelenggara Teknologi Informasi.Apakah ke-5 tujuan UU ITE ini tidak terejawantahkan ke dalam ketentuan pasal-pasal yang lain? Jika ada yang menjawab ya, tentu ia sangat naif. Cakupan materi UU ITE sudah sangat jelas menunjukkan kepekaan pemerintah terhadap pemanfaatan TIK di Indonesia. Silahkan membaca sendiri UU ITE secara seksama dan dengan kepala dingin.
Lebih lanjut ANRHTI berpendapat bahwa setidaknya ada 7 ketentuan dalam UU ITE yang berpotensi mengancam diantarnya adalah Pasal 27 ayat (1), Pasal 27 ayat (3), Pasal 28 ayat (2), Pasal 31 ayat (3), Pasal 40 ayat (2), Pasal 45 ayat (1), dan Pasal 45 ayat (2).Mari kita lihat satu per satu.Pertama, Pasal 27 ayat (1) UU ITE, berbunyi. Setiap Orang dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan dan/atau mentransmisikan dan/atau membuat dapat diaksesnya Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang memiliki muatan yang melanggar kesusilaan. Apakah Negara salah, ketika dia mengatur illegal content?.
Seperti saya sampaikan di muka, bahwa dalam pasal 28 J ayat (1) UUD 1945 jelas dinyatakan bahwa setiap orang wajib menghormati Hak Azasi orang lain dalam tertib kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Kemudian dalam ayat (2) dinyatakan bahwa dalam menjalankan hak dan kebebasannya, setiap orang wajib tunduk kepada pembatasan yang ditetapkan dengan undang-undang dengan maksud semata-mata untuk menjamin pengakuan serta penghormatan atas hak kebebasan orang lain dan untuk memenuhi tuntutan yang adil sesuai dengan pertimbangan moral, nilai-nilai agama, keamanan, dan ketertiban umum dalam suatu masyarakat demokratis. Hal ini juga selaras dengan pasal 23 dan 73 dari UU No.39 Tahun 1999 tentang Hak Azasi Manusia. Karenanya tidaklah salah jika dalam UU ITE terdapat adanya ketentuan tentang Konten (content regulation) yang bersifat melawan hukum, yang pada hakekatnya adalah pembatasan terhadap kebebasan berekspresi, berinformasi dan berkomunikasi dalam rangka melindungi HAM orang lain. Best practice di negara-negara lain, illegal content juga dilakukan.
Kedua, Pasal 27 ayat (3) tentang larangan memiliki muatan penghinaan dan/atau pencemaran nama baik. Di negara kita yang memegang adat ketimuran, menjunjung tinggi kesusilaan adalah suatu keniscayaan. Melakukan pencemaran nama baik dan fitnah, di negara mana pun di dunia ini tetap dianggap bertentangan dengan universal values.
Ketiga, Pasal 28 ayat (2) UU ITE yang memuat larang penyebaran informasi elektronik yang ditujukan untuk menimbulkan rasa kebencian atau permusuhan individu dan/atau kelompok masyarakat tertentu berdasarkan atas suku, agama, ras, dan antargolongan (SARA). Untuk diketahui, Pasal ini didasari oleh adanya First Additional Protocol to the Convention on Cybercrime concerning the criminalisation of acts of racist and xenophobic nature committed through computer system (2006), yang pada esensinya menghendaki jangan sampai ada penyebaran informasi yang bersifat menyebarkan rasa kebencian (hatred) ataupun permusuhan berdasarkan SARA melalui sistem komputer dan/atau internet. Jadi, para penyusun UU ITE sama sekali tidak menciptakan suatu ketentuan yang tidak merujuk pada best practice Negara lain atau ketentuan konvensi internasional.
Keempat, Pasal 31 ayat (3) UU ITE menyebutkan “Kecuali intersepsi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2), intersepsi yang dilakukan dalam rangka penegakan hukum atas permintaan kepolisian, kejaksaan, dan/atau institusi penegak hukum lainnya yang ditetapkan berdasarkan undang-undang”. Apa yang salah dengan ketentuan ini?Memang benar bahwa tindakan intersepsi atau penyadapan terhadap informasi dan/atau dokumen elektronik adalah tindakan melawan hukum sebagaimana diamanatkan oleh Pasal 31 ayat (1) UU ITE. Intersepsi hanya bisa dalam rangka penegakan hukum atas permintaan kepolisian, kejaksaan, dan/atau institusi penegak hukum lainnya yang ditetapkan berdasarkan undang-undang. (Pasal 31 ayat (3) UU ITE.Tatacara Lawful Interception akan diatur secara detil dalam Peraturan Pemerintah tentang Lawful Interception. Intinya bahwa penegak hukum harus mengajukan permintaan penyadapan kepada operator telekomunikasi, atau internet service provider yang diduga menjadi sarana komunikasi dalam tindak kejahatan. Jadi permintaan intersepsi tidak dilakukan kepada Depkominfo. Tak ada yang perlu dicemaskan dengan ketentuan lawful interception ini.
Kelima, Pasal 40 ayat (2) UU ITE menyebutkan bahwa Pemerintah melindungi kepentingan umum dari segala jenis gangguan sebagai akibat penyalahgunaan Informasi Elektronik dan Transaksi Elektronik yang mengganggu ketertiban umum, sesuai dengan ketentuan Peraturan Perundang-undangan. Lagi-lagi saya bertanya: Apa yang salah dengan aturan ini? Apakah Pemerintah dinilai berlebihan ketika bertindak atas nama ketertiban umum? Tolong ANRHTI lebih mengeksplorasi apa yang salah dengan ketentuan ini, sehingga saya bisa menyampaikan argumen yang pas.
Keenam, Pasal 45 ayat (1) UU ITE : Setiap Orang yang memenuhi unsur sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27 ayat (1), ayat (2), ayat (3), atau ayat (4) dipidana dengan pidana penjara paling lama 6 (enam) tahun dan/atau denda paling banyak Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).Mengapa harus enam tahun dan 1 miliar? Kita lihat ketentuan Cyber Law Singapura yang mengenakan Max 1 Tahun dan SGD 1 Miliar serta Cyber Law Romania yang mengenakan ancaman 3 sampai dengan 12 tahun atau pelanggaran yang sama. Memang ketentuan ini, nampaknya lebih “kejam” dari KUHP. Tapi patut diingat bahwa KUHP adalah produk hukum yang sudah sangat tua, yang mendasarkan ketentuan-ketentuan hukumnya pada zamannya, jauh sebelum TIK ada. Lagipula, kita menggunakan ketentuan maximum, bukan minimum. Artinya, kita memberikan kebebasan kepada hakim untuk menetukan vonis, yang intinya maksimal enam tahun dan denda 1 miliar. Jika dalam kasus-kasus “ringan”, si Hakim menjatuhkan vonis 1 bulan penjara dan denda Rp.100 ribu adalah sah-sah saja.
Ketujuh, Pasal 45 ayat (2) UU ITE : Setiap Orang yang memenuhi unsur sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28 ayat (1) atau ayat (2) dipidana dengan pidana penjara paling lama 6 (enam) tahun dan/atau denda paling banyak Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah). Saya tak perlu berpanjang lebar menjawab soal ini, lihat jawaban saya pada poin ‘keenam’, sebab pertimbangan yuridis, sosiologis dan filosofis atas kedua “gugatan ANRHTI” adalah sama.
Atas pertimbangan-pertimbangan yang sangat “dangkal” itu, ANRHTI menyatakan sikap: Pertama, Menolak kontrol negara atas kemerdekaan berpendapat, kemerdekaan pers, dan kebebasan berekspresi dalam segala bentuknya di Indonesia; Kedua, Mengecam ketentuan-ketentuan dalam UU ITE yang mengancamkemerdekaan berpendapat, kemerdekaan pers, dan kebebasan berekspresi dalam UU ITE. Ketiga, Mendesak agar pemerintah segera melakukan amandemen terhadap UU ITE agar sesuai dengan kewajiban-kewajiban Internasional Indonesia dalam konteks hak asasi manusia dan juga tidak melanjutkan pembahasan RUU TIPITI yang sangat mengancam kemerdekaan berpendapat, kemerdekaan pers,dan kebebasan berekspresi di Indonesia. Keempat, Menyerukan agar seluruh komponen masyarakat sipil di Indonesia untuk mengawasi dengan ketat setiap pembuatan peraturan perundang-undangan di DPR agar tidak bertabrakan dengan ketentuan-ketentuan tentang Hak Asasi Manusia
Tanggapan saya: Pertama, Menyesalkan sikap antipati ANRHTI yang secara tergesa-gesa membaca UU ITE tanpa memahaminya secara seksama. UU ITE ini masih kurang dari sebulan usianya, orang yang paling bijak sekalipun tak akan bisa menilai rasa keadilan, kepastian hukum, dan kemanfaatan dari UU ITE yang belum lama usianya. Mari kita lihat implementasi UU ITE ini dalam beberapa waktu ke depan. Kedua, Pemerintah tidak akan melakukan review atas UU ITE sebelum ada perintah dari Mahkamah Konstitusi yang memiliki wewenang untuk melalukan judicial review atas UU ITE ini jika ada pihak yang menyampaikan permohonan judicial review. Ketiga, Pemerintah dan DPR belum sama sekali membahas RUU Tindak Pidana Teknologi Informasi (Tipiti). Saat ini, Pemerintah sedang menyusun Naskah Awal RUU TIPITI, dan sama sekali belum menyampaikannya secara resmi kepada DPR. Dalam kaitan dengan ini, Pemerintah tidak bertanggung jawab atas beredarnya beberapa naskah RUU TIPITI di beberapa forum milis, sebab RUU TIPITI yang resmi belum ditetapkan oleh Pemerintah. Keempat, Meminta ANRHTI dan pihak-pihak yang merasa dirugikan hak konstitusional (constitutional rights)-nya untuk melakukan permohonan judicial review ke Mahkamah Konstitusi sebagai lembaga pengawal konstitusi.
Salam, Ferdinandus Setu.Bag
Tidak ada komentar:
Posting Komentar